Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik dihentikan secara tidak terhormat oleh Presiden Joko Widodo karena terbukti melanggar kode etik. |
Jakarta, Info Breaking News – Presiden Joko Widodo secara resmi memberhentikan Evi Novida Ginting Manik melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) No. 34/P Tahun 2020 yang merujuk pada putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) No 317-PKE-DKPP/X/2019.
Evi yang merupakan anggota KPU periode 2017-2022 tersebut dihentikan secara tidak terhormat lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
"Memberhentikan dengan tidak hormat Dra. Evi Novida Ginting Manik, M.SP sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan Tahun 2017-2022," bunyi Keputusan Presiden tertanggal 23 Maret 2020 tersebut.
Terkait pemecatannya, Evi dilaporkan sempat melawan putusan DKPP tersebut. Ia sempat mengunjungi kantor DKPP bahkan bertemu langsung dengan Jokowi karena keberatan terhadap putusan tersebut. Selain itu, Evi nantinya juga akan menggugat putusan DKPP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kepada awak media Evi menjelaskan setidaknya ada empat poin keberatan terhadap putusan terkait pemecatannya. Poin pertama, ia keberatan DKPP menilai telah menerima bukti dokumen dan keterangan pengadu. Pasalnya, ia mengaku persidangan 13 November 2019 dan 17 Januari 2020, majelis sidang DKPP tidak melakukan pemeriksaan terhadap pengadu atas nama Hendri Makaluasc karena pengadu membacakan surat pencabutan laporan.
Ia juga menyoroti adanya tindak diskriminasi atas perlakuan DKPP terhadap kasusnya dibandingkan dengan kasus lain.
"Perlakuan yang berbeda ini membuka ruang subjektivitas karena tidak ada aturan dan ukuran yang jelas baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maupun Peraturan DKPP untuk menentukan apakah satu aduan dapat diteruskan atau tidak jika pengadu mencabut aduannya," jelasnya
Selain itu, Evi menilai pembacaan putusan DKPP saat itu dinilai tidak memenuhi kuorum karena berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, menyebutkan rapat pleno harus dihadiri tujuh orang anggota DKPP kecuali dalam keadaan tertentu dapat dihadiri minimal lima orang. Sementara, dalam putusam DKPP disebutkan bahwa hanya empat orang anggota DKPP yang hadir.
"Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan qorum ini mestinya dinyatakan cacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," tegasnya.
Evi juga keberatan dengan pertimbangan DKPP yang terlalu berlebihan terhadapnya. Sebelumnya, DKPP menyebut bahwa sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu, ia memiliki tanggungjawab etik lebih besar padahal dalam praktiknya, pengambilan keputusan di KPU RI secara kolektif kolegial dalam rapat pleno.
Evi mengatakan, tidak ada laporan pengadu maupun fakta persidangan yang spesifik membahas perannya yang disebut mengendalikan dan mengintervensi putusan KPU Kalimantan Barat. Dia mengatakan, supervisi yang dilakukan KPU RI terhadap KPU Kalbar untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XII/2019 demi memberikan kepastian hukum seperti diatur dalam UUD.
Sebagai kesimpulan, Evi menduga terdapat cacat prosedur yang dilakukan DKPP baik mekanisme beracara maupun proses pengambilan keputusan. Ia pun mendesak DKPP untuk membatalkan putusan Nomor 317-PKE-DKPP/2019 dan meminta presiden menunda pelaksanaan putusan DKPP tersebut. ***Samuel Art