RAJABASA, KALIANDANEWS - Aroma pengerukan Pasir di Areal Gunung Anak Krakatau dan Pulau Sebesi kembali terendus beberapa hari belakangan ini. Hal itu ditandai dengan adanya Kapal Tongkang yang berlabuh di sekitaran pulau tersebut sejak Hari Rabu (28/08/2019).
Menurut keterangan dari Rahmat selaku Syahbandar Pulau Sebesi mengatakan, kuat dugaan keberadaan Kapal tersebut akan melakukan pengerukan pasir. Sebab, Pihak prusahaan yang menaungi kapal tersebut sudah berkunjung ke Kepulau Sebesi untuk melakukan Sosialisasi.
" Ya kemarin, perwakilan dari perusahaan yang mengatasnamakan PT. Lautan Indonesia Persada (LIP) sudah datang kesini untuk mengagendakan kegiatan sosialisasi terkait pengerukan pasir, Rencananya Besok (Kamis 29/8/19)," Kata Rahmat.
Namun Ironisnya, pihak perusahaan terlebih dahulu memarkirkan Kapalnya untuk melakukan eksploitasi penyedotan pasir sebelum melakukan sosialisasi. Hal tersebutlah yang sempat memantik keresahan masyarakat sekitar terutama masyarakat kecamatan rajabasa yang sempat diterpa bencana Tsunami beberapa waktu lalu.
Hasil Sosialisasi PT. LIP
Berdasarkan Informasi yang dihimpun, pertemuan yang dilakukan di Balai Desa Tejang Pulau Sebesi itu, menghasilkan penolakan tegas dari masyarakat setempat terkait rencana PT. Lautan Indonesia Persada (LIP) untuk melakukan pengerukan pasir untuk kelancaran perusahaannya.
"PT. LIP berencana akan melakukan penyedotan pasir hitam, kemarin ada sosialisasi dari PT. LIP ke warga sebesi terkait aktivitas penyedotan pasir yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat, tapi warga sepakat menolak," kata Yodis selaku Ketua LSM Pelita yang juga hadir dalam sosialisasi tersebut, (30/08/19).
Selain itu Kata Yodis, pihaknya bersama masyarakat sempat melakukan peninjauan langsung ke lokasi dimana rencana penyedotan dan lokasi dimana kapal tersebut berlabuh.
"Kami bermasyarakat Pulau sempat melakukan peninjauan langsung dengan menggunakan kapal motor untuk memastikan jangan sampai ada aktivitas penambangan pasir bawah laut," kata dia.
Sementara perwakilan PT. LIP Steven dan Mario menjelaskan jika penyedotan pasir di antara pulau Sebesi dan GAK tidak berdekatan. Jarak penyedotan pasir itu sekitar 7-10 mil dari wilayah Sebesi dan GAK.
"Terkait Perizinan PT. LIP sudah lengkap, segala sesuatu tentang perizinanan sudah dilengkapi," kata Steven.
Pihaknya pun mengatakan akan bertanggung jawab apabila kegiatan pengerukan pasir menimbulkan kerusakan pada ekosistem laut dan sebagainya.
"Pihak kami juga akan membantu masyarakat pulau Sebesi melalui CSR (Corporate Socail Responsibility) berupa bantuan ekonomi, infrastruktur dan kesehatan," Ungkapnya.
Selain itu kata Steven, pasir yang disedot akan diantar ke daerah Subang, Jawa Barat, untuk keperluan pembangunan infarstruktur dermaga. Sementara itu, Mario, menjelaskan bahwa area yang akan dijadikan lokasi penyedot pasir memiliki luas 1.000 hektar.
"Rencananya Pasir akan di antar ke Daerah Subang untuk keperluan pembangunan Infrastruktur Dermaga. Penyedotan akan dilakukan secara acak. Sesuai dengan kandungan pasir di wilayah tersebut," pungkasnya
WALHI Sebut PT. LIP Langgar Aturan
Dilain pihak, Direktur WALHI Lampung, Irfan Tri Musri mengatakan, pihaknya memaklumi apabila masyakarakat menolak keras terkait rencana oengerukan pasir tersebut. Pihaknya menuding Izin administrasi PT. LIP dianggap menyalahi aturan.
Menurutnya Perusahaan itu memperoleh izin operasi produksi yang dikeluarkan tahun 2015, seluas 1.000 hektar.
"Izin itu melanggar aturan karena dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2014 bahwa pemerintah provinsi dan pemerintah pusat tidak bisa mengeluarkan izin selain izin membangun pelabuhan oleh pemerintah sampai dengan pemerintah provinsi memiliki perda pengelolaan wilayah pesisir. Padahal, perda (peraturan daerah) pengelolaan disahkan pada tahun 2018. Tapi di tahun (2015) itu, kok sudah dikeluarkan? Meskipun mereka mengajukan izin baru, hal tersebut tetap tidak bisa dilakukan. Sebab, semua izin pertambangan laut sudah dihapuskan," Terang Irfan.
Diketahui, sejak 2009 silam, pengerukan dan penyedotan pasir hitam di sekitar Anak Gunung Krakatau memang santer terdengar dan selalu ditolak warga lantaran aktifitas tersebut dianggap dapat merusak ekosistem. (Nzr/kur)