BERITA MALUKU. Pelbagai fenomena krisis pangan global dewasa ini, bukan hanya terjadi pada negara-negara yang hanya punya satu komoditas pangan, namun hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Dimana dalam dua dekade terakhir, ketahanan pangan di Indonesia sedang menghadapi masalah krusial karena beberapa faktor, antara lain, terjadinya perubahan iklim global yang disertai dengan meningkatnya penyebaran hama yang mengakibatkan tingginya biaya produksi beras, makin menyempitnya lahan, dan semakin berkurangnya sumber air yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi. Maka tak mengherankan ketergantungan kepada beras saat ini membuat harga beras melambung tinggi dan terpaksa kita harus mengimpor berasa dari luar negeri.
Hal ini tak lain karena adanya unifikasi atau penyeragaman pangan yang dilakukan pemerintah pada masa lalu, yang me-unifikasi atau menyeragamkan beras atau nasi sebagai pangan nasional atau makanan pokok orang Indonesia yang secara sistematis dilakukan.
Tanpa sadar terjadi semacam Genosida (pemusnahan terhadap pangan lokal) seperti sagu, umbi-umbian dan jagung dan yang lainnya yang selama berabad-abad menjadi pangan masyarakat Indonesia di pelabagai daerah.
Sebagai contoh, orang Maluku makan hari-hari harus ada sagu lempeng, sinoli atau papeda dan beras hanya menjadi makanan tambahan pada hari Jumat dan Minggu, maka pada saat ini makanan hari-hari kita adalah beras, dan sagu hanya pada hari-hari tertentu saja, khususnya hari Jumat atau hari Minggu.
Untuk itu, menghadapi ketahanan pangan di Indonesia sedang menghadapi masalah krusial, maka sagu bisa menjadi solusi alternative bagi ketahanan pangan nasional, khususnya di daerah-daerah endemic seperti Maluku, Papua. Apalagi kandungan karbohidratnya sangat banyak, dan relative sangat baik untuk kesehatan, jika dibandingkan dengan beras yang resisten penderita Diabetes.
"Untuk itu, sagu bisa dapat Menjawab Krisis Pangan yang sementara terjadi dalam dua dekade ini," ujar Assagaff dalam sambutannya, pada seminar Internasional Sagu, yang berlangsung di auditorium Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, dibawah sorotan tema "Sago For Food Security And Environmental Sustainability In Small Island".
Dijelaskan, pada beberapa hasil penelitian menyebutkan, saat ini luas hutan sagu di Maluku mencapai 60.000 hektar, jika ditambah dengan Luas Hutan sagu nasional yang diperkirakan mencapai 5,6 juta hektar di seluruh Indonesia.
Jika produktivitas perkebunan sagu 30 ton/hektar maka 5,6 juta hektar sagu itu bisa menyumbang karbohidrat untuk 933 juta orang per tahun.
Apalagi, menurutnya sagu memiliki daya tahan terhadap lingkungan dan perubahan iklim, termasuk bisa tumbuh di lahan bergambut, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan.
Namun masalahnya, ungkap orang nomor satu di bumi raja-raja ini, sebagian besar tanaman sagu saat ini masih dikelola dalam bentuk hutan sagu dengan produktifitas kurang dari 10 ton/hektar. Bahkan lahan sagu semakin berkurang karena banyak yang dikonversi menjadi Kawasan pemukiman, jalan, perkantoran sagu atau menjadi lahan untuk tanaman pangan, holtikultural dan perkebunan.
"Kami juga mencermati bahwa tanaman sagu mulai kurang diperhatikan, tidak terurus, bahkan banyak pangan sagu yang siap panen di hutan tidak dipanen pada waktunya. Bagi kami masyarakat Maluku, pohon sagug bukan sekedar tumbuhan endemik Maluku yang telah menyediakan pasokan pangan alami bagi rakyat Maluku selama beberapa abad. Namun lebih dari itu, sagu juga sudah menjadi icon budaya, bahkan merepresentasikan falsafah hidup dan kearifan lokal orang Maluku," cetusnya.
Kata Assagaff, orang Maluku sering mengatakan sagu adalah lambang persaudaraan tradisional dengan pernyataan "Hidup orang basudara melalui metaphor, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, dan sagu salempeng dibagi dua".
Dalam konteks ini, jelasnya pemerintah provinsi Maluku terus berkomitmen untuk mendukung pengembangan sagu sebagai sumber pangan tradisional di Maluku.
Oleh karena itu, dirinya memandang seminar internasional tentang sagu yang dilaksanakan ini sangatlah penting dan strategis.
Untuk itu, Assagaff berharap seminar ini bisa menghasilkan perspektif, inovasi dan teknologi baru yang dapat mendukung pengembangan sagu di Maluku secara berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan pembangunan lingkungan, sehingga pemerintah daerah bisa menyusun kembali blue print pengembangan pangan serta kemungkinan hilirisasi komoditas sagu, khsususnya di wilayah-wilayah kepulauan Maluku sebagai basis kedaulatan pangan, kelestarian lingkungan dan bahan baku industri di masa depan.
Hal ini tak lain karena adanya unifikasi atau penyeragaman pangan yang dilakukan pemerintah pada masa lalu, yang me-unifikasi atau menyeragamkan beras atau nasi sebagai pangan nasional atau makanan pokok orang Indonesia yang secara sistematis dilakukan.
Tanpa sadar terjadi semacam Genosida (pemusnahan terhadap pangan lokal) seperti sagu, umbi-umbian dan jagung dan yang lainnya yang selama berabad-abad menjadi pangan masyarakat Indonesia di pelabagai daerah.
Sebagai contoh, orang Maluku makan hari-hari harus ada sagu lempeng, sinoli atau papeda dan beras hanya menjadi makanan tambahan pada hari Jumat dan Minggu, maka pada saat ini makanan hari-hari kita adalah beras, dan sagu hanya pada hari-hari tertentu saja, khususnya hari Jumat atau hari Minggu.
Untuk itu, menghadapi ketahanan pangan di Indonesia sedang menghadapi masalah krusial, maka sagu bisa menjadi solusi alternative bagi ketahanan pangan nasional, khususnya di daerah-daerah endemic seperti Maluku, Papua. Apalagi kandungan karbohidratnya sangat banyak, dan relative sangat baik untuk kesehatan, jika dibandingkan dengan beras yang resisten penderita Diabetes.
"Untuk itu, sagu bisa dapat Menjawab Krisis Pangan yang sementara terjadi dalam dua dekade ini," ujar Assagaff dalam sambutannya, pada seminar Internasional Sagu, yang berlangsung di auditorium Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, dibawah sorotan tema "Sago For Food Security And Environmental Sustainability In Small Island".
Dijelaskan, pada beberapa hasil penelitian menyebutkan, saat ini luas hutan sagu di Maluku mencapai 60.000 hektar, jika ditambah dengan Luas Hutan sagu nasional yang diperkirakan mencapai 5,6 juta hektar di seluruh Indonesia.
Jika produktivitas perkebunan sagu 30 ton/hektar maka 5,6 juta hektar sagu itu bisa menyumbang karbohidrat untuk 933 juta orang per tahun.
Apalagi, menurutnya sagu memiliki daya tahan terhadap lingkungan dan perubahan iklim, termasuk bisa tumbuh di lahan bergambut, sehingga dapat dengan mudah dikembangkan.
Namun masalahnya, ungkap orang nomor satu di bumi raja-raja ini, sebagian besar tanaman sagu saat ini masih dikelola dalam bentuk hutan sagu dengan produktifitas kurang dari 10 ton/hektar. Bahkan lahan sagu semakin berkurang karena banyak yang dikonversi menjadi Kawasan pemukiman, jalan, perkantoran sagu atau menjadi lahan untuk tanaman pangan, holtikultural dan perkebunan.
"Kami juga mencermati bahwa tanaman sagu mulai kurang diperhatikan, tidak terurus, bahkan banyak pangan sagu yang siap panen di hutan tidak dipanen pada waktunya. Bagi kami masyarakat Maluku, pohon sagug bukan sekedar tumbuhan endemik Maluku yang telah menyediakan pasokan pangan alami bagi rakyat Maluku selama beberapa abad. Namun lebih dari itu, sagu juga sudah menjadi icon budaya, bahkan merepresentasikan falsafah hidup dan kearifan lokal orang Maluku," cetusnya.
Kata Assagaff, orang Maluku sering mengatakan sagu adalah lambang persaudaraan tradisional dengan pernyataan "Hidup orang basudara melalui metaphor, potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, dan sagu salempeng dibagi dua".
Dalam konteks ini, jelasnya pemerintah provinsi Maluku terus berkomitmen untuk mendukung pengembangan sagu sebagai sumber pangan tradisional di Maluku.
Oleh karena itu, dirinya memandang seminar internasional tentang sagu yang dilaksanakan ini sangatlah penting dan strategis.
Untuk itu, Assagaff berharap seminar ini bisa menghasilkan perspektif, inovasi dan teknologi baru yang dapat mendukung pengembangan sagu di Maluku secara berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan pembangunan lingkungan, sehingga pemerintah daerah bisa menyusun kembali blue print pengembangan pangan serta kemungkinan hilirisasi komoditas sagu, khsususnya di wilayah-wilayah kepulauan Maluku sebagai basis kedaulatan pangan, kelestarian lingkungan dan bahan baku industri di masa depan.