Jakarta, Info Breaking News - Kapolri Jenderal Tito Karnavian angkat bicara soal banyaknya pengaduan masyarakat terkait reserse ke Ombudsman. Utamanya terkait keluhan soal laporan-laporan yang dibiarkan tak ditangani secara berkelanjutan oleh reserse.
"Kelemahan bidang reserse saya paham betul karena penanganan kasus di serse itu sangat absurd, relatif. Bisa memuaskan pelapor (kalau diajukan), tapi kalau diajukan, terlapor yang marah. Atau kasusnya kita hentikan karena nggak memenuhi unsur, terlapornya senang tapi pelapornya marah," kata Tito usai menerima Ombusdman di Mabes Polri, Rabu (3/1).
Sering kali polisi berada pada posisi dilematis, yang menurut Tito wajar dan banyak terjadi juga di tempat lain. Tetapi Polri terus memperbaiki SDM para penyidik dan berusaha agar tingkat kesejahteraan mereka cukup.
"Juga, kedua, perbaiki masalah anggaran lidik-sidik (penyelidikan dan penyidikan) supaya mereka nggak minta ke pelapor dan tersangka. Itu selama ini kita sampaikan kepada pemerintah. Kalau di KPK itu anggaran sidik-lidik menggunakan sistem at cost, berapapun dibayar, sementara di Polri menggunakan indeks," sambungnya.
Kehilangan Sapi
Dalam sistem indeks, ada batasan anggaran yaitu kasus sangat sulit Rp 70 juta dan kasus ringan Rp 7 juta, sehingga membuat Polri tidak mungkin bekerja maksimal. Membedakan indeks antar kasus pun sebenarnya tidak gampang.
Dalam sistem indeks, ada batasan anggaran yaitu kasus sangat sulit Rp 70 juta dan kasus ringan Rp 7 juta, sehingga membuat Polri tidak mungkin bekerja maksimal. Membedakan indeks antar kasus pun sebenarnya tidak gampang.
"Kasus penghinaan itu kasus indeks sedang dan ringan yang biayanya cuma Rp 7 juta. Tapi kalau saksinya di luar kota kemudian terlapornya di kota lain, maka Rp 7 juta nggak cukup hanya untuk uang perjalanan saja. Bagaimana bisa menyelesaikan itu. Ini problem mendasar," keluhnya.
Jadi kalau ada pameo pelapor yang kehilangan ayam dan lapor polisi jadi kehilangan kambing, maka Tito berani berkomentar: "polisi kadang sampai kehilangan sapi, (untuk mengungkapnya."
Dia mencontohkan dalam kasus besar yang menjadi perhatian publik, misalnya pembunuhan, berdasarkan indeks anggarannya Rp 70 juta, tetapi penyidik yang dikerahkan bisa mencapai 150 anggota.
"Dari mana uangnya?" ujar Tito lagi.
Usul Seperti Anggaran KPK
Menurut Tito, negara tidak mampu membayar. Di Amerika, sambungnya, agen penyidik federal atau FBI diberi kartu kredit dan berapa pun habisnya tak masalah, yang penting ada pertanggungjawabannya.
Menurut Tito, negara tidak mampu membayar. Di Amerika, sambungnya, agen penyidik federal atau FBI diberi kartu kredit dan berapa pun habisnya tak masalah, yang penting ada pertanggungjawabannya.
"Itu namanya at cost, berapapun juga yang diperlukan, dibayarkan negara. Ini seperti KPK sekarang. Makanya mereka fokus dan (KPK) mau ke luar negeri mau ke mana terbayar. Kita kasus penghinaan ada saksi di luar negeri kita berangkat ke sana indeksnya ringan (Rp 7 juta) tapi bisa habis Rp 150 juta," urainya.
Dana penyidikan "sebesar sapi" ini biasanya ditambal dari dana kontijensi, dana dukungan kapolri, dan dana revisi pos lain. Namun kalau dibiarkan, praktik ini bisa mengganggu sistem anggaran lainnya. Maka Tito mengusulkan sistem at cost agar laporan-laporan yang mangkrak di Polri bisa dibereskan semua.
"Juga jangan ditarget. Kasus korupsi kita dikasih target. Kasusnya satu Polres satu tahun hanya dijatah empat sampai lima kasus padahal yang ditangani 20 kasus korupsi. Itu biaya lain gimana? Jadi kita tidak bisa salahkan kepada petugasnya saja tapi sistemnya," sambungnya.
Tito mengaku sudah berkali-kali berharap negara menggunakan sistem at cost.
Jika ini sudah dilakukan, "Saya bisa nekan penyidik, kamu sudah cukup anggarannya kalau masih minta juga, saya masukin penjara." tegasnya.