Lunturnya Ingatan Kekejaman PKI dari Benak Pelajar Indonesia
Berita Islam 24H - Kabar soal rencana pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban pembunuhan pascaperistiwa penculikan jenderal pada 30 September 1965 memunculkan kembali polemik soal kejadian tersebut. Meski begitu, kenangan soal peristiwa yang dinamai Orde Baru sebagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI) tampaknya mulai luruh dari benak sebagian remaja dan pemuda.
Sefti Khoirunisya, mahasiswa semester tiga di Universitas Terbuka (UT) Bogor, mengatakan baru ingat soal peringatan gerakan 30 September saat ditanyai kakaknya soal bendera-bendera yang tak lagi berkibar setengah tiang. "Kalau kakak tidak tanya, mungkin saya juga tak ingat hari ini adalah peringatan G-30-S/PKI," ujar Sefti kepada Republika.
Bagi gadis 20 tahun tersebut, peristiwa 30 September 1965 dan kejadian setelahnya masih menjadi misteri. Ia tak tahu kisah mana yang patut dipercaya dari sejumlah versi yang beredar. Sefti masih berharap yang sesungguhnya terjadi bisa terkuak. "Masih perlu banget dipolemikkan, supaya semuanya jelas," kata dia.
Sebagian murid SMA dan mahasiswa yang ditanyai Republika kebanyakan hanya mengetahui PKI adalah gerakan terlarang. "Saya tahunya dari buku pelajaran sejarah di sekolah, juga cerita orang tua bahwa PKI organisasi terlarang di Indonesia," kata Fitri, mahasiswa angkatan baru tahun 2015 di Universitas Lampung, Rabu (30/9).
Ia tidak mengetahui persis ada pembunuhan para jenderal saat peristiwa 30 September, 51 tahun silam. Setahu dia, PKI berpaham ideologi yang merusak umat dan bangsa, dan pada zaman sebelum reformasi tidak ada tempat di Indonesia yang berkehidupan Pancasila. Ia mengatakan, hanya tahu orang-orang PKI berjiwa komunis dan berperilaku tidak manusiawi.
PKI yang Terlarang
Shafira, siswi di madrasah aliyah swasta di Metro, juga mengatakan tidak mengetahui persis apa dan siapa PKI tersebut. Ia hanya tahu bahwa PKI tidak boleh ada di Indonesia, dan tidak boleh menyebut-nyebut PKI.
"Saya tahunya dari cerita orang tua saya. Soalnya, waktu di sekolah tidak pernah dijelaskan detail soal PKI. Pokoknya, PKI itu tidak boleh, terlarang," ujar pelajar kelas III kelahiran tahun 1999 tersebut.
Elvira Rosa Herman (18 tahun), mahasiswi jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat, mengatakan tidak ingat lagi kisah soal 30 September 1965 meski pernah mempelajarinya di sekolah. "Nggak inget sama sekali. Singkatannya juga nggak inget," kata Rosa dengan nada polos.
Hal yang sama juga dituturkan oleh Azizah (18 tahun). Mahasiswa Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota di Universitas Brawijaya ini malah menyalahartikan gerakan tersebut sebagai kegiatan demonstrasi.
"Pernah dipelajari di sekolah, tapi nggak spesifik. Jadi nggak inget," ucap mahasiswa asal Bekasi ini.
Meski demikian, ada sebagian remaja yang mencoba mengingat dengan terbata-bata. "Golongan pemberontak ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Saat itu kan pemerintahan dikuasai oleh ABRI. Tapi, PKI melawannya dengan kekerasan. Ya, dengan cara pembantaian itu," kata Julius Setiadi (19 tahun), lulusan jurusan IPA SMAN 1 yang baru sebulan yang lalu ke Museum Lubang Buaya. Dengan lugu, Julius mengatakan tidak begitu mengerti apa itu partai komunis maupun komunisme.
G30S PKI Diyakini Didalangi Amerika
Tak semua remaja yang ditemui Republika abai terhadap peristiwa 30 September. Radhitya Abiyoga, murid kelas XII SMAN 1 Bekasi, salah satu yang fasih menceritakan kejadian tersebut. Radhitya juga mengatakan mengerti soal komunisme.
"Sepengetahuan saya, komunisme itu adalah sebuah paham di mana kaum proletar setara kaum kelas atas dan kaum borjuis. Menurut saya, komunisme tidak ada hubungannya dengan ateisme," kata murid IPA yang juga ketua OSIS di sekolahnya tersebut.
Demikian juga Feliya Alfacia, siswi SMKN 2 Bekasi. Ia bahkan meyakini bahwa gerakan tersebut didalangi oleh intelijen Amerika Serikat. "Seinget saya ada perlawanan bersenjata PKI di Blitar dan Klaten," kata dia.
Fikar Robbani, mahasiswa semester tiga Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor, mengatakan soal 30 September 1965 tak akan sepenuhnya hilang dari ingatan generasi terkini. Menurutnya, Indonesia tetap perlu dijaga dari paham-paham yang membahayakan.
"Memang kami terkesan lupa, padahal kami tetap menyimpan keprihatinan pribadi dalam hati," ujar Fikar. [beritaislam24h.com / rci]