Kasus E-KTP, Tersangka Masih Bisa Bertambah

Yuyuk Andriati (SM/dok)
JAKARTA – Setelah dua tahun lebih, KPK kembali menetapkan tersangka dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan EKTP. Meski begitu, masih terbuka kemungkinan munculnya tersangka lain. Hal itu diisyaratkan Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Gedung KPK, Jumat (30/9).

Dia mengungkapkan, KPK masih mendalami keterlibatan pihak-pihak lain yang diduga terkait kasus ini. "Penetapan tersangka bukan akhir kasus ini dan masih banyak saksi-saksi yang akan digali dari banyak pihak dan memiliki keterangan, jadi memang untuk melengkapi berkas masih perlu waktu lagi," tegas Yuyuk setelah mengumumkan penetapan tersangka kedua dalam kasus itu.

Kemarin, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman sebagai tersangka kasus tersebut. Seperti tersangka pertama, Sugiharto, dia disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya, jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

"Dalam pengembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional atau disebut KTP elektronik 2011-2012 pada Kemendagri, penyidik KPK menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan IR (Irman), mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendgari sebagai tersangka," kata Yuyuk. 

Penggelembungan

Menurut Yuyuk, Irman yang saat ini menjadi staf ahli Menteri Dalam Negeri diduga melakukan penggelembungan harga dalam perkara ini dengan kewenangan yang ia miliki sebagai Kuasa Pembuat Anggaran (KPA).

"Dugaannya melakukan perbuatan hukum menyalahgunakan kewenangan semacam mark up oleh pejabat yang bersangkutan," tambah Yuyuk. Selain Irman, KPK sudah menetapkan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto sebagai tersangka sejak 22 April 2014 lalu.

Sementara itu, kerugian negara pada kasus ini diduga mencapai Rp2 triliun. "Berdasarkan perhitungan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Rp2 triliun. Angka Rp 2 triliun karena diduga ada mark up (penggelembungan) harga dalam pengadaan yang jumlahnya Rp 6 triliun, tapi mengapa angkanya hingga Rp 2 triliun, saya harus menanyakan lagi kepada penyidik," ungkap Yuyuk.

Yuyuk juga mengungkapkan, penetapan tersangka kedua yang membutuhkan waktu lebih dari dua tahun sejak penetapan tersangka pertama disebabkan banyaknya saksi dan bukti yang harus dikumpulkan. Dia juga menegaskan, penyidik bekerja ekstra keras bekerja untuk melengkapi berkas-berkas kasus ini.

Sementara itu, pengacara bekas bendahara umum Partai Demokrat Nazaruddin, Elza Syarif, pernah mengatakan proyek e- KTP dikendalikan ketua fraksi Partai Golkar DPR (saat itu) Setya Novanto, mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan Pejabat Pembuat Komitmen. Selain itu, dalam dokumen yang dibawanya, ada beberapa nama anggota DPR RI saat itu yang duduk di Badan Anggaran dan Komisi II.

Program E-KTP secara nasional dilaksanakan dalam dua tahap yakni pada 2011 dan 2012. Tahap pertama dilaksanakan di 197 kabupaten/kota dengan target 67 juta penduduk telah memiliki KTP elektronik. Namun, pada pelaksanaannya, terdapat masalah terkait ketersediaan dan distribusi perangkat yang dibutuhkan. (sm/ant)

Subscribe to receive free email updates: