Ilustrasi Ahok |
Berita Metropolitan –
Keberanian Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
menutup dua diskotek besar di pusat kota Jakarta yakni Stadium dan
Miles, sepertinya juga menjadi perhatian sejumlah jurnalis yang lama
bertugas meliput persoalan perkotaan dan kriminal di Jabodetabek.
Salah satunya adalah Rusdy Nurdiansyah, wartawan dari media massa cetak Republika yang kini bertugas di wilayah Kota Depok.
Sebagai
jurnalis di sebuah media massa yang dikenal dengan pers Islami-nya,
Rusdy paham benar bahwa sejak lama dirinya dituntut untuk kerap
mengkritisi tempat hiburan malam yang dinilai berbau mesum dan gudang
peredaran narkoba di Jabodetabek.
Karenanya,
Rusdy mengaku sudah cukup sering mengkritisi keberadaan
diskotek-diskotek gudang narkoba dan pusat mesum, yang ada di Jakarta
termasuk Stadium dan Miles dan wilayah penyangga lainnya
Namun ia
mengaku sempat putus asa, karena kritikannya atas semua diskotek itu
hanya angin lalu dan tak pernah ada tindak lanjutnya dari pemerintah.
Latar belakang
Rusdy sebagai jurnalis koran Republika yang dikenal sebagai media massa
agamis Islami, tampaknya cukup objektif menggambarkan fenomena penutupan
Stadium dan Miles.
Dalam
tulisannya berjudul 'Dulu Sih Ngga Bakalan Mungkin, Sekarang Cuma Sekali
Lirik', Rusdy juga memastikan dirinya tetap seorang Jurnalis netral
yang tak berafiliasi mendukung calon gubernur dari partai politik
manapun dalam Pilkada DKI 2017 mendatang.
Berikut artikel opini Rusdy secara lengkap berjudul: Dulu Sih Ngga Bakalan Mungkin, Sekarang Cuma Sekali Lirik.
'Dulu sih,
kayaknya ngga mungkin. Tapi sekarang kok jadi mungkin ya. Itulah yang
ada dibenak saya, selama puluhan tahun pengalaman menjadi wartawan di
dunia kriminal dan hiburan.
Diskotik
Stadium dan Miles adalah dua diskotik terbesar di Jakarta yang tak
pernah tutup alias beroperasi 24 jam. Kedua diskotik ini juga tak pernah
sepi pengunjung dan diistilahkan sebagai "Kampus" karena tempat bagi
pakar-pakar penikmat dunia malam.
Kedua
diskotik ini juga merupakan surganya para penikmat malam. "One Stop
Entertain", semua kenikmatan disajikan ke para 'penghuni neraka' yang
berkunjung.
Dan,
pengunjung berkumpul di situ merasakan nikmatnya mabuk alkohol, ekstasi
(Inex), Sabu dan putau (morphin/heroin) sambil mendengar house musik
(musik gedek-gedek) yg dimainkan para DJ-DJ seksi dan tentu diselingi
para seksi dancer dan diakhiri dengan bugil dancer.
Hampir
setiap malam pengunjung, pria dan wanita-wanita cantik dengan dandanan
mengundang syahwat bersorak tanpa batas, suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) serta dari orang kaya, kalangan menengah bahkan
kalangan miskin bercampur baur berjam-jam, ber hari-hari dan tak kenal
waktu asyik larut mendengarkan dentuman musik setan tanpa peduli
terdengar sayup-sayup suara adzan berkumandang saat Subuh. Saya
menyakini sekali, sebagian besar pengunjungnya beragama Islam.
Dalam semalam, peredaran uang yang dihambur-hamburkan tak sedikit, bisa mencapai miliaran rupiah.
Bayangkan
untuk membeli satu butir pil ekstasi saja pengunjung harus merogoh kocek
Rp 500 ribu, dan satu orang pengunjung minimal menelan pil setan itu 2
hingga tiga butir.
Belum lagi
untuk membeli narkoba jenis Sabu, minuman alkohol dan biaya untuk
wanita-wanita peghibur sebagai pendamping serta tiket masuk diskotik.
Dan selama
puluhan tahun, sejak jaman Gubernur Wiyogo, Soerjadi Soerdija, Sutiyoso
hingga Fauzi Wibowo (Foke), kedua tempat itu sama sekali tak tersentuh
dan rasanya tak mungkin ada yang berani mengotak-atiknya.
Kedua
diskotik itu menjadi bancakan petinggi-petinggi di Pemprov DKI Jakarta,
Polda Metro Jaya dan juga sebagian wartawan, ormas kepemudaan serta tak
lupa dan cukup miris turut kebagian sebagian ormas Islam yang justru
saat ini lantang menentang Ahok.
Capek
rasanya saya menulis investigasi untuk mendesak ditutupnya kedua
diskotik yang memang terang-terangan menjadi pusat peredaran narkoba dan
prostitusi serta berani melanggar perijinan jam buka tutup diskotik
bahkan tetap beroperasi disaat bulan Ramadhan, sekalipun Pemprov DKI
melarangnya.
Tidak ada
peringatan, apalagi sanksi penyegelan ataupun penutupan walaupun banyak
korban tewas tak terhitung dikedua tempat itu karena over dosis atau
akibat perkelahian.
**
Tapi,
respon cukup cepat dilakukan Ahok saat media memberitakan bertubi-tubi
banyaknya pengunjung yang tewas saat sedang pesta narkoba dan seks di
kedua diskotik yang konon milik rajanya konglomerat di Indonesia.
Pemberitaan pun menghiasi, Ahok langsung merespon.
Dengan tegas
diperintahkan kedua diskotik tersebut ditutup karena telah melanggar
Perda tentang perijinan tempat hiburan terutama soal peredaran narkoba
dan kegiatan prostitusi.
Tentu, saya
dan para jurnalis lainnya yang kerap menulis 'kebrutalan' kebaradaan
diskotik tersebut merasa senang dan mengacungkan jempol, karena
'tekanan' media menuai hasil untuk menyuarakan keinginan warga agar
kedua tempat maksiat yang berada di kawasan Jakarta Kota tersebut
ditutup.Tentunya hal itu tak pernah terbayangkan sebelumnya, walaupun
hanya sekelebat mimpi.
Dan, siapa
juga yang menduga keberadaan kawasan Kali Jodo Jakarta sebagai kawasan
hingar-bingar prostitusi dan peredaran narkoba yang sudah tujuh turunan
tak pernah terusik. Tapi, lagi-lagi Ahok mampu menghadapinya, walau
ancaman bertubi-tubi mengancam jiwa dan pemikirannya.
Namun, Ahok
tak gentar. Dengan hanya 'sekali lirik', pria yang dihujat sebagian
kalangan dituduh menistakan agama Islam ini 'kelewat sakti' dan
meratakannya hanya dengan sekejap. Kini, Kali Jodo pun, telah 'disulap'
menjadi taman bermain anak yang indah dan nyaman.
Sedikit
menyimpang ke persoalan lain, saya juga penasaran ingin membuktikan
karya foto rekan fotografer sebuah harian nasional yang menggambarkan
sungai-sungai di Jakarta bersih dari sampah. Faktanya memang bersih,
airnya berwarna coklat, tidak berbau dan bersih dari onggokan sampah.
Dulu,
sebelum Ahok memimpin Jakarta, saya kerap membidik sungai-sungai di
Jakarta yang kotor, airnya berwarna hitam, dan pastinya penuh dengan
sampah yang baunya sangat menyengat.
Masih ada
beberapa pekerjaan rumah bagi Ahok kalau benar-benar serius memerangi
peredaran narkoba dan prostitusi di beberapa tempat diskotik lainnya
yang menawarkan wanita dari segala penjuru dunia. Ada wanita Cina, Arab,
Maroko, Uzbekistan, Jepang, Korea, Thailand dan Rusia serta tentu ada
wanita-wanita dari segala macam suku yg ada di Indonesia.
Tempat itu
yakni diskotik Alexis, Colesium, Illegals, Classic, Daimond, Newtown dan
Malioboro yg merupakan sebagain dari sekian banyak tempat hiburan di
seputaran kawasan Ancol, Jl Majapahit, Jl Mangga Besar dan Jakarta Kota.
Mungkinkah Ahok mampu segera menutup tempat-tempat yang menjual maksiat
dan narkoba tersebut.
Jadi, pertanyaannya, kemana saja selama ini kerjanya gubernur-gubernur sebelumnya yang memimpin kota berusia 489 tahun ini.
Kecuali
mungkin, Gubernur Ali Sadikin dan Sutiyoso yang cukup membanggakan telah
cukup berhasil membangun Kota berpenduduk 12,7 juta.
***
Lalu, saya
coba membandingkan kinerja pria bernama Basuki Tjahya Purnama itu dengan
kinerja Wali Kota Depok tempat saya saat ini bertugas. Capek rasanya
bagi saya dan sebagian rekan wartawan mengkritik keras dengan tulisan
untuk menyegel dan menutup tempat-tempat hiburan seperti karaoke dan
cafe yang saat dilakukan razia terbukti memperdagangkan minuman keras
(miras), padahal ada Perda yang melarang penjualan miras di Kota Depok.
Coba cek di
wilayah Jalan Alternatif Cibubur yang sebagian masuk wilayah Depok,
Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor menjamur tempat-tempat hiburan, karaoke,
kafe, spa dan sauna yang menjual kenikmatan maksiat sesaat dengan
terang-terangan tanpa pernah ada penertiban.
Siapa
pemimpinnya di tiga wilayah tersebut. Carilah sendiri jawabannya. Apa
yang mereka kerjakan, khususnya soal pemberantasan narkoba dan
prostitusi. Jawabannya, ngga ada yang becus dan hasilnya hanya omong
kosong (omdo).
***
Saya bukan
pendukung Ahok, tapi saya angkat topi dengan kinerjanya, dalam waktu
singkat selama memimpin Jakarta yang cukup kompleks permasalahannya,
suka dan tidak suka terbukti mampu mengubah wajah Jakarta yang lusuh dan
kumuh menjadi klimis dan modis.
Saya tidak
mendukung Ahok untuk memenangkan pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017,
tapi janganlah halangi dia untuk mempertahankan sabuk gelar gubernur
Jakarta yang kini disandangnya.
Saya
berharap kedua penantang pria asal Bangka Belitung ini, yakni Anies
Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono, jika berhasil merebut tahta
Jakarta, contohlah seluruh kinerja positif, tegas dan berani yang ada
dalam sosok Ahok. Janganlah omdo dan PHP (pemberi harapan palsu).
Untuk Ahok,
jangan dong paranoid (parno) dengan penolakan sebagian umat Islam yang
menentang dan menolak, apalagi sampai membawa-bawa ayat agama segala.
Jadi
biarkanlah demokrasi dalam Pilkada DKI Jakarta dengan penduduk yang
beragam menjadi pestanya masyarakat Jakarta, tanpa diembel-embelin SARA.
Ngga perlu lagi menolak, menentang apalagi sampai gontok-gotokan.
Piss…lah.
Coba deh
direnungkan Pesan Buya Syafii Maarif: "Gejala Ahok adalah gejala
kegagalan parpol Muslim melahirkan pemimpin, tapi tidak mau mengakui
kegagalan ini. Selama tidak jujur dalam bersikap, jangan berharap kita
bisa menang. Saya tidak membela Ahok. Yang saya prihatinkan, gara-gara
seorang Ahok, energi bangsa terkuras habis. Anda harus mampu membaca
masalah bangsa ini secara jernih, tidak dengan emosi. Selamat berpikir.'
Catatan Orang Pingiran
Oleh: Rusdy Nurdiansyah/ Wartawan Republika/ Ketua Pembina Depok Media Center (DMC)'
Catatan :
'Mohon maaf, tulisan ini hanya opini dan pengalaman saya saja, tidak
ada kaitannya dengan institusi tempat saya bertugas sebagai wartawan.
Piss…'